Akuntansi Dalam Sejarah Peradaban Islam

Bila diperhatikan tentang sejarah akuntansi yang kita kenal sekarang, dapat diketahui bahwa sejarah akuntansi tumbuh dan berkembang di eropa, tepatnya di Italia. Apabila diperhatikan kembali sejarah akuntansi tidak dapat ditemukan sama sekali sejarah akuntansu yang berasal dari islam, entah ini merupakan distorsi sejarah, atau berdasarkan kesengajaan atau tidak disengaja dikarenakan ketidaktahuan.

Tapi apabila diperhatikan kembali dapat ditemukan bahwa akuntansi memiliki sejarah yang telah dilaksanakan dengan sangat baik pada sistem negara islam.

Sejarah Akuntansi Dalam Islam

Perlu diketahui bahwa ketika eropa mengalami masa kegelapan dan masih memiliki kemajuan peradaban seperti sekarang, peradaban islam berkembang dengan pesat dan telah menjadi peradaban yang paling maju di dunia pada masanya. Begitu juga sistem akuntansi sudah diterapkan pada masa itu yang langsung merujuk pada firman Allah Ta’ala:

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al Qashash :77).
Akuntansi telah digunakan oleh orang-orang arab untuk mengukur jumlah kekayaan mereka, untuk menghitung harta perniagaan dll. Tidak dapat dikatakan bahwa peradaban seperti sistem perekonomian, sistem pemerintahan, sistem pendidikan, sosial budaya yang ditemukan di Arab bukanlah peradaban orang Arab sendiri. Tetapi sistem itu merupakan islami yang telah menjadikan peradaban arab maju, dikarenakan kemajuan milik kaum muslimin dan pembangun peradaban adalah kaum muslimin adalah peradaban Islam yang belum pernah ada bandingannya di dunia ini, sebelum dan sesudahnya.

Mengutip pandangan Vernon Kam, bahwa : dalam sejarahnya diketahui doublebook keeping muncul di Italia sejak abad ke-13. Maka dalam pernyataan Shehata adalah suatu pengkajian selintas terhadap sejarah Islammenyatakan bahwa akuntansi dalamislambukanlah merupakan seni dan ilmuyang baru “ dapat di lihat dalam peradaban islam yang pertama sudah memiliki “Baitul Mal “ yang merupakan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai “Bendara Negara “ serta menjamin kesejahteraan sosial. Sejak itu masyarakat muslim telah memiliki jenis akuntansi yang disebut “Kitabat al-Amwal”(pencatatan Uang) tulisan ini telah muncullam sebelum double entry detemukan oleh Lucas Pacioli di Italia pada tahun 1949.

Ada beberapa faktor yang menuntutlahirnya double entry pada abad ke-13. faktor tersebut adalah karena penyajian pada periode sebelumnya tidak selengkap dengan yang terjadi pada masa itu. Litleton mengakui bahwa double entry munculkepermukaan karena waktu itu dapatdpenuhi persyaratanya , yaitu: persyaratan yang berkaitan dengan masalah “materi” dan “bahasa” (1)

Demikian pula, banyak orang-orang Eropa yang mengunjungi dunia Islam terpengaruh dengan apa yang mereka rasakan di negeri Islam. Banyak di antara mereka yang masuk Islam ketika mereka merasakan kekuatan pendorong yang merubah orang-orang badui yang memeluk Islam menjadi ulama’ dan pemimpin. Sebagian peneliti telah merasakan pengaruh peradaban Islam dan kaum muslimin terhadap dunia, yakni salah seorang dari mereka mengatakan bahwa para pedagang Itali telah menggunakan huruf-huruf Arab (Have, 1976, hal. 33), di samping angka-angka Arab juga. Di samping itu, sebagian penulis memandang bahwa sistem pencatatan sisi-sisi transaksi yang dikenal dengan sistem pembukuan ganda (double entry) telah dikenal oleh penduduk dahulu, dan sistem ini tersebar di Itali melalui perdagangan. Demikian pula bahwa di sana terdapat beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa orang-orang terdahulu telah mencatat pemasukan dan pengeluaran tunai pada lembaran-lembaran yang berhadapan dengan sistem debet dan kredit. (Heaps, 1985, hal. 19–20). Tidak diragukan lagi, mereka itu adalah orang-orang Arab terdahulu sebelum Islam, di Babilonia, Mesir, lalu di Hijaz, setelah itu diikuti oleh kaum muslimin. Demikian pula perkataan peneliti ini bahwa sistem pencatatan sisi-sisi transaksi telah tersebar di Itali melalui perdagangan, yang dimaksudkan adalah melalui kaum muslimin. Sebab, kaum muslimin pernah menjalin hubungan dagang yang kuat dengan orang-orang Itali; dan tidak ada seorang pun yang mendahului mereka dalam melakukan hal itu, sejak Eropa keluar dari masa kegelapan.

Dalam sejarah membuktikan bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Lucas Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.

1.      Akuntansi di Kalangan Bangsa Arab Sebelum Islam

Dari studi sejarah peradaban arab, tampak sekali betapa besarnya perhatian bangsa arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap pedagang arab untuk mengetahui dan menghitung barang dagangannya, sejak mulai berangkat sampai pulang kembali. Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan pada keuangannya. Setelah berkembangnya negeri, bertambahnya kabilah-kabilah, masuknya imigran-imigran dari negeri tetangga, dan berkembangnya perdagangan serta timbulnya usaha-usaha perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab terhadap pembukuan dagang untuk menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudipun (pada waktu itu) sudah biasa menyimpan daftar-daftar (faktur) dagang.

Semua telah nampak jelas dalam sejarah peradaban bangsa arab. Jadi, konsep akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada pembukuan yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan penjumlahan dan pengurangan. Untuk mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang sendiri dan ada juga yang menyewa akuntan khusus.

2.      Konsep Akuntansi pada Awal Munculnya Islam

Setelah munculnya Islam di semenanjung arab dibawah kepemimpinan Rasulullah saw, serta telah terbentuknya daulah islamiyah di madinah, mulailah perhatian Rasulullah untuk membersihkan muamalah maaliah (keuangan) dari unsur-unsur riba dan dari segala bentuk penipuan, pembodohan, perjudian, pemerasan, monopoli dan segala usaha pengambilan harta orang lain secara batil. Bahkan Rasulullah lebih menekankan pada pencatatan keuangan. Rasulullah mendidik secara khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini dan mereka diberi sebutan khusus, yaitu hafazhatul amwal (pengawas keuangan).

Diantara bukti seriusnya persoalan ini adalah dengan diturunkannya ayat terpanjang didalam Al-Qur’an, yaitu surah al-Baqarah ayat 282. Ayat ini menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (Kitabah), dasar-dasarnya dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal ini. Para sahabat Rasul dan pemimpin umat islam juga menaruh perhatian yang tinggi terhadap pembukuan (akuntansi) ini, sebagai mana yang terdapat dalam sejarah khulafaur-rasyidin.

Adapun tujuan pembukuan bagi mereka di waktu itu adalah untuk mengetahui utang-utang dan piutang serta keterangan perputaran uang, seperti pemasukan dan pegeluaran. Juga, difungsikan untuk merinci dan menghitung keuntungan dan kerugian, serta untuk menghitung harta keseluruhan untuk menentukan kadar zakat yang harus dikeluarkan oleh masing-masing individu.

Dengan melihat sejarah peradaban Islam diatas, jelaslah bahwa ulama-ulama fiqih telah mengkhususkan masalah keuangan ini kedalam pembahasan khusus yang meliputi kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan prosedur-prosedur yang harus di ikuti.

Runtuhnya Khilafah Islamiyah serta tidak adanya perhatian dari pemimpin-pemimpin Islam untuk mensosialisasikan hukum islam, serta dengan dijajahnya kebanyakan nagara Islam oleh negara-negara eropa, telah menimbulkan perubahan yang sangat mendasar disemua segi kehidupan ummat Islam, termasuk di bidang muamalah keuangan. Pada fase ini perkembangan akuntansi didominasi oleh pikiran pikiran barat. Para muslim pun mulai menggunakan sistem akuntansi yang dikembangkan oleh barat.

Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba.

Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syura ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya.

Kebangkitan islam baru telah menjangkau bidang muamalah secara umum, dan bidang-bidang finansial, serta lembaga-lembaga keuangan secara khusus. sekelompok pakar akuntansi muslim telah mengadakan riset dan studi-studi ilmiah tentang akuntansi menurut islam. Perhatian mereka lebih terkonsentrasi pada beberapa bidang, yaitu bidang riset, pembukuan, seminar atau konverensi, pengajaran dilembaga-lembaga keilmuan dan perguruan tinggi, serta aspek implementasi pragmatis.

Berikut ini adalah sebagian dari usaha awal di masing-masing bidang:

  1. Kebangkitan akuntansi islam dalam bidang riset
    sudah terkumpul beberapa tesis magister serta disertasi doktor dalam konsep akuntansi yang telah dimulai sejak tahun 1950 dan masih berlanjut sampai sekarang. Diperkirakan tesis dan disertasi tentang akuntansi yang terdapat di Al-Azhar saja sampai tahun 1993 tidak kurang dari 50 buah. Disamping itu telah juga dilakukan riset-riset yang tersebar di majalah-majalah ilmiah.
  2. Kebangkitan akuntansi islam dalam bidang pembukuan.
    Para inisiator akuntansi islam kontemporer sangat memperhatikan usaha pembukuan konsep ini. Hal ini dilakukan supaya orang-orang yang tertarik pada akuntansi dapat mengetahui kandungan konsep islam dan pokok-pokok pikiran ilmiah yang sangat berharga, sehingga kita tidak lagi memerlukan ide-ide dari luaratau mengikuti konsep mereka (barat).
  3. Kebangkitan akuntansi islam di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
    Konsep akuntansi islam mulai masuk kesekolah-sekolah dan perguruan tinggi sejak tahun 1976, yaitu fakultas perdagangan Universitas Al Azhar untuk program pasca sarjana, dalam mata kuliah Akuntansi perpajakan dan Evaluasi Akuntansi. Situasi ini terus berlanjut, hingga tahun 1978 dibuka beberapa jurusan dalam cabang-cabang ilmu akuntansi islam di berbagai perguruan tinggi di timur tengah. Dan hal ini berlanjut sampai sekarang diberbagai belahan dunia, termasuk indonesia.
  4. Kebangkitan akuntansi islam dalam aspek implementasi
    Implementasi akuntansi islam mulai dilakukan sejak mulai berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang berbasiskan syariah. Hal ini menyebabkan mau tidak mau lembaga keuangan syariah tersebut harus menggunakan sistem akuntansi yang juga sesuai syariah. Puncaknya saat organisasi akuntansi islam dunia yang bernama Accounting and Auditing.

Akuntansi syariah sudah diimplementasikan pada masa kejayaan islam dan dapat diimplementasikan pada masa sekarang ini seperti:

Akuntansi Zakat.

Kewajiban zakat bagi muslim merupakan bukti betapa pentingnya peranan akuntansi bukan saja bagi perusahaan atau lembaga tetapi juga bagi perorangan.

Akuntansi Pemerintahan.

Pengelolaan kekayaan negara melalui lembaga terkenal seperti Baitul mal juga memerlukan akuntansi yang lebih teliti karena menyangkut harta masyarakat yang harus dipertanggung –jawabkan, baik kepada rakyat maupun kepada Tuhan.

Akuntansi Warisan.

Untuk menghitung pembagian waris, Alquran telah memberikan petunjuk seperti yang terdapat dalam surat Annisa ayat 7 – 14.

Akuntansi Efisiensi.

Islam menganjurkan bahkan mewajibkan efisiensi. Tuhan telah menggariskan bahwa pemborosan merupakan perbuatan setan yang harus dihindari.

Akuntansi Pertanggungjawaban atau Amanah.

Islam mewajibkan agar dalam bisnis kita berlaku jujur tidak mengambil hak orang lain dan menjaga amanah. Untuk itu perlu laporan pertanggungjawaban.

Akuntansi Kesaksian.

Untuk memjaga agar kebenaran tetap terjaga maka diperlukan pembuktian yang benar dari mereka yang mengetahui kebenaran.

Akuntansi Syarikat.

Salah satu bentuk usaha yang dianjurkan dalam Islam adalah bentuk Mudharabah atau Musyarakah. Dalam bentuk usaha seperti ini diperlukan sistem yang bisa memberikan informasi serta pertanggung jawaban agar jalannya kerjasama tetap berada dalam koridor keadilan dan kejujuran.

Di antara karya-karya tulis yang menegaskan penggunaan akuntansi dan pengembangannya di negara Islam, sebelum munculnya buku Pacioli, adalah adanya manuskrip yang ditulis pada tahun 765 H./1363 M. Manuskrip ini adalah karya seorang penulis muslim, yaitu Abdullah bin Muhammad bin Kayah Al Mazindarani, dan diberi judul “Risalah Falakiyah Kitab As Siyaqat”. Tulisan ini disimpan di perpustakaan Sultan Sulaiman Al-Qanuni di Istambul Turki, tercatat di bagian manuskrip dengan nomor 2756, dan memuat tentang akuntansi dan sistem akuntansi di negara Islam. Huruf yang digunakan dalam tulisan ini adalah huruf Arab, tetapi bahasa yang digunakan terkadang bahasa Arab, terkadang bahasa Parsi dan terkadang pula bahasa Turki yang populer di Daulat Utsmaniyah,. Buku ini telah ditulis kurang lebih 131 tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Memang, buku Pacioli termasuk buku yang pertama kali dicetak tentang sistem pencatatan sisi-sisi transaksi (double entry), dan buku Al Mazindarani masih dalam bentuk manuskrip, belum di cetak dan belum diterbitkan.

kesimpulan

Islam telah memiliki sistem akuntansi yang merujuk dari al-qur’an dan sunnah dan telah dipraktekan pada masa awal bangkitnya islam hingga masa khilafah islamiyyah. Sistem ini merupakan sistem yang mutakhir dan banyak kesamaan dengan sistem akuntansi yang digunakan pada masa sekarang ini, dikarenakan apabila dilihat dari segi historis bahwa masyarakat eropa banyak belajar dari negeri Islam dan mengambil banyak imu pengetahuan. Termasuk dalam bidang akuntansi.

Maka sekarang ini adalah kesempatan bagi kaum muslimin untuk mempelajari sejarah peradaban islam dan mengambil banyak pelajaran agar dapat diaplikasikan dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai muslim, dan kembali membangun peradaban islam yang kuat.

References

 

  1. Abu Fitri Ambardi, Akuntansi Syariah : Sejarah Perkembangan dan Implementasi, http://abufitriambardi.blogspot.com, diakses pada tanggal 11 Desember 2011.
  2. Baso Amir, Akuntansi di Kalangan Bangsa Arab Sebelum Islam, http://akuntansiunhas.com  diakses pada tanggal 9 Desember 2011.
  3. Anonim, Sejarah Akuntansi di Negara Islam, xa.yimg.com/kq/groups/24927445/Sejarah+Akuntansi+Islam.doc, diakses pada tanggal 9 Desember 2011.
  4. Anonim, Sejarah, Pengertian, dan Prinsip Umum Akuntansi Syariah. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/sejarah-pengertian-dan-prinsip-umum-akunt ansi-syar%E2%80%99ah , diakses pada tanggal 11 desember 2011

Al Qadariyah القدرية

الباب الأول: البحث

أ‌.               نشأة القدرية

إن في عصر بني أمية نشأ مذهبان متقابلان في الرأي أي في حكم علي أفعال الإنسان: أحدهما يقول: “إن الإنسان مجبور لا اختيار له”, وهو المذهب الجبر و صاحبه (جهم بن صفوان) وثانيها يقول: “إن الإنسان مختار في أفعاله حر الإرادة”, وهو مذهب الاختيار, وصاحبه غيلان الدمشقي, ولقد فرعنا من الكلام علي أصل نشأة مذهب الجبر وصاحبه جهم, والآن نريد أن نتحدث عن نشأة مذهب الاختيار وصاحبه “غيلان”.

القدرية أول الفرق الإسلامية المخالفة وقد ظهرت في بداية عهد الخليفة الاموي – عمر بن عبد العزيز واول من أسسها- غيلان القدري وقد قتله الخليفة هشام بن عبد الملك بصلبه على أبواب الشام، هو مفهوم يرى أن الله لايعلم شيء الا بعد وقوعه وان الأحداث بمشيئة البشر وليست بمشيئة الله وهي بعيدة كل البعد عن الجبرية

القدرية نسبة إلى القدر في الحقيقة, وهو (تقدير الله للكائنات حسب ما سبق به علمه واقتضه حكمته) والإيمان بالقدر من أركان الإيمان، وقد قال عبدالله بن عمر رضي الله عنهما (والذي يحلف به عبد الله بن عمر لو أن لأحدهم مثل أحد ذهبا فأنفقه ما قبل الله منه حتى يؤمن بالقدر) [صحيح مسلم 8]

لا يصح الإيمان بالقدر حتى يؤمن العبد بمراتب القدر الأربع وهي:

1- أن الله سبحانه وتعالى علم الأشياء كلها قبل وجودها بعلمه الأزلي وعلم مقاديرها وأزمانها وآجال العباد وأرزاقهم وغير ذلك كما قال تعالى (إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ) العنكبوت 64

2- أن الله سبحانه وتعالى كتب جميع الأشياء من خير وشر وطاعة ومعصية وآجال وأرزاق وغير ذلك كما قال تعالى (أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ) الحج 70

3- أن الله سبحانه وتعالى لا يوجد في ملكه ما لا يريد ولا يقع شيء في السماء والأرض إلا بمشيئته كما قال تعالى (لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ) التكوير 28-29

4- أن الله سبحانه وتعالى هو الخالق الموجد لجميع الأشياء من ذوات وصفات وأفعال فالجميع خلق الله سبحانه، وكل ذلك واقع بمشيئته وقدرته، فالعباد وأرزاقهم وطاعاتهم ومعاصيهم كلها خلق الله وأفعالهم تنسب إليهم فيستحقون الثواب على طيبها والعقاب على خبيثها، والعبد فاعل حقيقة وله مشيئة وله قدرة قد أعطاه الله إياها، والله سبحانه هو خالقه وخالق أفعاله، وقدرته ومشيئته.

في القاعدة النحوية أن يفسر القدرية بالمنسوب إلى القدر أي التقدير والقضاء، فالقدرية: هم القائلون بالقضاء والقدر. كما أنّ العدلية هم القائلون بالعدل لا نفاته .

ولكن العلماء فسّروه بنفاة القدر، وهو في بابه غريب، إذ لم يثبت هذا النوع من الاستعمال .

ثم إنّ الذين اتّهموا بالقدرية في أيام الأُمويّين كانوا دعاة الحرية، ويقولون بأنّ الإنسان مخيّر في تفكيره وعمله وليس بمسيّر، فاستنتج المخالفون لهؤلاء الجماعة انّهم من نفاة القضاء والقدر، وكأَنّ القول بالحرية لا يجتمع مع القول بالتقدير .

أول ‏من قال بالقدر معبد الجهني البصري في آواخر عهد الصحابة، وأخذ عنه غيلان ‏الدمشقي، وقد تبرأ منهم من سمع بهم من الصحابة كعبد الله بن عمر وأبي هريرة وابن ‏عباس وأنس بن مالك وعبد الله بن أوفى وعقبة بن عامر الجهني وغيرهم.‏

وفي صحيح مسلم عن يحي بن يعمر قال (كان أول من قال بالقدر بالبصرة معبد ‏الجهني فانطلقت أنا وحميد بن عبد الرحمن الحميري حاجين أو معتمرين فقلنا: لو لقينا ‏أحداً من أصحاب الرسول صلى الله عليه وسلم فسألنا عما يقول هؤلاء في القدر، ‏فوفق لنا عبد الله بن عمر بن الخطاب… فقلت: أبا عبد الرحمن، إنه قد ظهر قبلنا ‏ناس يقرؤون القرآن ويتقفرون العلم، وذكر شأنهم وأنهم يزعمون أن لا قدر وأن الأمر ‏أنف، قال: فإذا لقيت أولئك فأخبرهم أني بريئ منهم وأنهم برآء مني، والذي يحلف به ‏عبد الله بن عمر لو أن لأحدهم مثل أحد ذهباً فأنفقه ما قبل الله منه حتى يؤمن ‏بالقدر) [صحيح مسلم 8]

لقد كان لغيلان –كما ذكرنا- آراء كثيرة ولكنه لم يشهر إلا بقوله في القدر ولهذا يدعوه المؤرخون (غيلان القدري) و سنري أن قوله بالقدر كان سببا في قتله. ولكنا من أين حصل غيلان مثل هذا الرأي في القدر؟

       هنا نري أن المؤرخون قد اختلفوا في مصدر هذا القول عنده فبعضهم يقول أن غيلان أول من تكلم في القدر معبد بن خالد الجهني “ويري بعض آخر غير هؤلاء وأولئك أن غيلان أخذ القول بالقدر عن الحسن بن محمد بن الحنفية.

ب‌.  آراؤه الكلامية

أما آراؤه الكلامية فإنه كان يقول باختيار أي إن العبد قادر علي أفعال نفسه فهو الذي يأتي الخير بإرادته وقدرته ويترك الشر أو يفعله باختياره أيضا وليس للقدر سلطان عليه. ولقوله هذا عده ابن المرتضي من الطبقة الرابعة للمعتزلة.

وأما رأيه في الإيمان: فإنه كان يذهب فيه إلى رأي المرجئة أي أن الإيمان هو المعرفة والإقرار بالله تعالى وبرسوله (عليه الصلاة والسلام).

وأما رأيه في القرآن: فهو كرأي جهم في أن القرآن مخلوق وليس قديما .

وكان يقول بصحته الإمامة من غير قريش, و أن كل من كان قائما بالكتاب والسنة يصح أن يكون إماما للمسلمين, لكن يشرط إجماعهم علي إمامته. وهو بهذا الرأي تذهب إليه الخوارج, من صحة الإمامة لغير القريشي إذا قام بأحكام الكتاب والسنة, وأجمعت الأمة علي تنصيبه. إذن تكون آراء غيلان الكلامية هي:

-. القول بالاختيار

-. الإيمان معرفة وقول و أن العمل ليس داخلا فيه

-. القول بالخلق القرآن

-. نفي الصفات الثبوتية

-. إن الإمامة تصلح لغير القريشي

      هذه هي آراؤه الكلامية التي يتفق فيها مع بعض أصحاب الكلام ويختلف فيها مع بعض الآخر ولهذا يعبر عنه مؤرخون الفرق بتعابير مختلفة.

ت‌.  تعقيب علي مذهب القدرية.

  إن القول بالإختيار يعطي للمرء حرية مطلقة في إيجاد فعله, دون المساس بتدخل الله فيه مستدلا بقوله تعالي “إن الله لا يغير ما بقوم حتي يغيروا ما بأنفسهم”, والحرية في إختيار الفعل يطلب مسؤولية المرء في عمله, لأن كل عمل يجزي إما الثواب و إما العقاب. ولكن القدرية ينسون بأن كثيرا من الناس الذين أرادوا النجاح فلم يتحققوا أملهم, و علي سبيل المثال كان الزوج يريد الولد فرزق بالبنات, و يريد البنت فرزق بالولد, ويريد الولد والبنت فلم يرزق شيئا أي كان عمله غير موفق. وهذا دليل واضح بأن الله تعالى لا يزال يتدخل في عمل المرء, و من هنا بطل رأي القدرية الذي ذهب إلي استقلال المرء المطلاق في إيجاد الفعل. و من أجل ذلك ستتضح صحة موقف القرآن من الجبر و الإختيار في الستور الآتية.

موقف القرآن ومبدأ الجبر والإختيار

    ولكن لماذا لم يكن موقف القرآن صريحا فيما يتعلق بالجبر والإختيار؟ أي لم يصرح لنا القرآن الكريم بأن الإنسان مجبور على أفعاله وأنه لا إختيار له مطلقا, وأنه كالريشة في مهب الرياح, كما لم بصلرح أيضا بأن له الإختيلر, و يعبر عنه تارة أخرى بما يفيد أنه مختار, فمثلا يقول في أول السورة: (هل أتي على الإنسان حين من الدهر لم يكن شيئا مذكورا, إن خلقنا الإنسان من نطفة أم شاج نبتليه فجعلناه سميعا بصيرا, إنا هديناه السبيل إما شاكرا إما كفورا). فهذه الآية تدل بظاهرها على أن الإنسان مسلوب الإختيار وهي قوله تعا لى:( وما تشاءون إلا أن يشاءالله رب العالمين)

     والجواب على هذا أن القرآن لو صرح بأن الإنسان مسلوب الاختيار (مجبور) دائما لما كان هناك معنى للمسؤولية, ولو سقطت المسؤولية لسقط الجزاء على الأعمال, فلا يكون هناك فرق بين المحسن المسئ.

      والحق أن المذهب القرآن هو مذهب الجمع بين الآيات المتعارضة في الجبر و الاختيار, وأن العبد لاهو جبري مطلقا ولا هو مختار مطلقا,وإنما الجمع بينهما إن صح التعبير, وعبر سيخ ابن تيمية هذه القدية بقوله:”للعبد قدرة وإرادة وفعل وهبها الله له, لتكون أفعاله حقيقة لا مجازا, مع إعتقاده بأن الله خالق كل شئ”.وبين البشرية ثابتة بالشعور و الحس, أن الإنسان بحسه وشعوره يتحمل عمله, وقد كلفه الله من العمل ما يسعاه فيجب عليه أن يعمل, ولا يجوز أن يحتج في الذنوب بقدر الله تعالى بل عليه إلا أن بفعلها.

ث‌.  طوائف القدرية

إنّ العصر الأُموي كان يسوده القول بالجبر الّذي يصوّر الإنسان والمجتمع انهما مسيّران لا مخيّران، وأن كل ما يجري في الكون من صلاح وفساد، وسعة وضيق وجوع وكظّة وصلح وقتال بين الناس أمر حتمي قضي به عليهم، وليس للبشر فيه أيّ صنع وتصرّف .

وقد اتّخذت الطغمة الأُمويّة هذه الفكرة غطاءً لأفعالهم الشنيعة حتّى يسدّوا بذلك باب الاعتراض على أفعالهم، بحجّة انّ الاعتراض عليهم اعتراض على صنعه سبحانه وقضائه وقدره، وانّ الله سبحانه فرض على الإنسان حكم ابن آكلة الأكباد وابنه السكّير، وأبناء البيت الأُموي الخبيث يعيشون عيشة رغد ورخاء وترف، ويعيش الآخرون حياة البؤس والشقاء.

وعلى ذلك فمن سجلت أسماؤهم في القدرية لم يكن لهم ذنب سوى انّهم كانوا دعاة الحرية ونفاة الجبر، نظراء :

1-معبد بن عبد الله الجهني البصري (المتوفّى عام 80 هـ).

2-غيلان بن مسلم الدمشقي، المصلوب بدمشق عام 105 هـ .

3-عطاء بن يسار (المتوفّى 103 هـ).

إنّ نضال هؤلاء الثلاثة في العهد الأُموي كان ضد ولاة الجور الذين كانوا يسفكون الدماء وينسبونه إلى قضاء الله وقدره، فهؤلاء الأحرار قاموا في وجههم وأنكروا القدر بالمعنى الّذي استغلته السلطة وبررت به أعمالها الشنيعة، وإلاّ فمن البعيد جداً من مسلم واع أن ينكر القضاء والقدر الواردين في الكتاب والسنّة على وجه لا يسلب الحرية من الإنسان ولا يجعله مكتوف الأيدي.

1- القدرية النفاة: وهم الذين يطلق عليهم أكثر العلماء اسم (القدرية) وهم الذين ورد فيهم الحديث عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال (القدرية مجوس هذه الأمة، إن مرضوا فلا تعودوهم، وإن ماتوا فلا تشهدوهم) رواه ‏أبو داود (4691) والحاكم (1/85) وحسنه الألباني.

وحقيقة مذهبهم أنهم يقولون: إن أفعال العباد، وطاعاتهم ومعاصيهم لم تدخل تحت قضاء الله وقدره، فأثبتوا قدرة الله على أعيان المخلوقات وأوصافها، ونفوا قدرته على أفعال المكلفين، وقالوا: إن الله لم يردها ولم يشأها منهم، بل هم الذين أرادوها وشاءوها، وفعلوها استقلالاً بدون مشيئة الله.

ويزعمون: أنهم بهذا القول ينزهون الله عن الظلم، لأنه لو قدر المعاصي عليهم، ثم عذبهم عليها، لكان ظالما لهم، وللزم من إثبات قدرة الله على أفعالهم الجبر، الذي هو باطل بالشرع والعقل، كما تقدمت الإشارة إليه.

وسموا (مجوس هذه الأمة) لأنهم أشبهوا (المجوس) الذين أثبتوا خالقاً للخير وهو الله، وخالقاً للشر وهو إبليس على زعم (المجوس).

2- القدرية المجبرة: وهم (غلاة الجهمية) الذين إمامهم في هذا وغيره (جهم بن صفوان) وهم يزعمون أن عموم مشيئة الله، وعموم إرادته تقتضي:

  •  أن العبد مجبور على أفعاله، مقسور مقهور على أقواله وأفعاله.
  •  لا قدرة له على شيء من الطاعات، ولا على ترك المعاصي.
  •  ومع أنه لا قدرة له على ذلك عندهم، فهو مثاب معاقب على ما لا قدرة له عليه.

وهذا القول من أشنع البدع وأخبثها وهو مخالف للكتاب والسنة وإجماع الأئمة المهتدين، من الصحابة والتابعين لهم بإحسان.

3- القدرية المشركون: وهم الذين اعتذروا عن شركهم وتحريمهم ما أباح الله بالمشيئة وجعلوا مشيئة الله هي محبته فقالوا (لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلا آبَاؤُنَا وَلا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ) الأنعام 148.

ج‌.   جدال غيلان في القدر وقتله فيه

    اتفق المؤرخون الذين كتبوا عن غيلان, علي أن هشام بن عبد الملك هو الذي قتله. إلا أنهم إختلفوا في سبب قتل هشام له. فيروى ابن المرتضي أن هشاما قتله لأنه قد رآه ينادى علي بيع ما في خزائنهم, أيام ولاه عليها عمر بن عبد العزيز, وأنه يسبب بني أمية, فأقسم ليقتله إذا ولي هذا الأمر, فلما ولاه نفد ما أقسم عليه وقتله, فبناء علي ما رواه ابن المرتضي, يكون قتل هشام لغيلان سياسيا لادينا.

     وأما باقي المؤرخبن فيرون ما يدل على أن هشاما قتله لقوله بالقدر, وأنه أحضر له الأوزاعي, فقطعه هذا بعد أن سأله فى ثلاث مسائل. لم يجب غيلان علي واحدة منها. فأخذه هشام وأمر به فقطعت يداه ورجلاه فمات. وقيل صلب حيا علي باب (كيسان) بدمشق.

      وأما جدله في هذا, فإنه كتب به إلى عمر بن عبد العزيز, ثم دعاه عمر إلي سماع رأيه, فأقنع به, وولاه أمر الخزائن, وقيل إن عمر بن عبد العزيز لما دعاه إليه,ألزم غيلان الحجة, ونهاه عن الكلام في هذا, فوعده غيلان ولكن لما مات عمر بن عبد العزيز, رجع إلى رأيه, وأخذ يدعو إليه, فقتله هشام ابن عبد الملك لهذا.

 

 

الباب الباء: اختتام 

 

  1. القدرية هو الاسم الذي يستخدم لأحد المذاهب الذي يعطي التركيز على الحرية والقوة البشرية المنتجة في تصرفاته. و في تعاليمه يقول باختيار أي إن العبد قادر علي أفعال نفسه فهو الذي يأتي الخير بإرادته وقدرته ويترك الشر أو يفعله باختياره أيضا وليس للقدر سلطان عليه.
  2. لا يتم إيمان الإنسان حتي يؤمن بالقدر خيره وشره أنه من عند الله, وأنه لا يكون شئ فى الكون كله إلا ما قدره الله

المراجع:

  1. Zarkasyi, Amal Fathullah DR. دراسة في علم الكلام , Darussalam University Press, Ponorogo: 2011
  2. Azzuhri, Hasan. نشأة القدرية وما أنكروه من مراتب القدر, http://audio.islamweb.net. Diakses pada tanggal 14 Desember 2011.
  3. Ulum, Bahrul. Kekeliruan QadariyahTerhadap Taqdir Allah, http://www.inpasonline.com. Diakses pada tanggal 14 Desember 2011.
  4. Ma’rifatullah Awaluddin, Aliran Qadariyah, http://sherikay.blogspot.com, diakses pada tanggal 13 Desember 2011.

Abdullah, Ahmad Farouq, مذهب القدرية أي مذهب الاختيار, http://tutorq.blogspot.com, diakses pada tanggal 13 Desember 2011.

THE VERB (Linguistic)

Written by, Amhar Maulana Arifin
the Student of Sharia Faculty, Islamic Economics Major, Darussalam Institute for Islamic Studies.

INTRODUCTION
The verb is perhaps the most important part of the sentence. A verb or compound verb asserts something about the subject of the sentence and express actions, events, or states of being. The verb or compound verb is the critical element of the predicate of a sentence.
The definition of verb is the part of speech (or word class) that describes an action or occurrence or indicates a state of being.
A verb, from the Latin verbum meaning word, is a word (part of speech) that in syntax conveys an action (bring, read, walk, run, learn), or a state of being (be, exist, stand). In the usual description of English, the basic form, with or without the particle to, is the infinitive. In many languages, verbs are inflected (modified in form) to encode tense, aspect, mood and voice. A verb may also agree with the person, gender, and/or number of some of its arguments, such as its subject, or object.

A. AGREEMENT
In languages where the verb is inflected, it often agrees with its primary argument (the subject) in person, number and/or gender. With the exception of the verb to be, English shows distinctive agreement only in the third person singular, present tense form of verbs, which is marked by adding “-s” (I walk, he walks) or “-es” (he fishes). The rest of the persons are not distinguished in the verb (I walk, you walk, they walk, etc.).
In linguistics, conjugation is the creation of derived forms of a verb from its principal parts by inflection (regular alteration according to rules of grammar). Conjugation may be affected by person, number, gender, tense, aspect, mood, voice, or other grammatical categories. All the different forms of the same verb constitute a lexeme and the form of the verb that is conventionally used to represent the canonical form of the verb (one as seen in dictionary entries) is a lemma. Inflection of nouns and adjectives is known as declension.
Conjugated forms of a verb are called finite forms. In many languages there are also one or more forms that remain unchanged with all or most of grammatical categories: the non-finite forms, such as the infinitive or the gerund. A table giving all the conjugated variants of a verb in a given language is called a conjugation table or a verb paradigm.
A regular verb has a set of conventions for conjugation (paradigm) that derives all forms from a few specific forms or principal parts (maybe only one, such as the infinitive in English), in spelling or pronunciation. A verb that has conjugations deviating from this convention is said to be an irregular verb. Typically the principal parts are the root and/or several modifications of it (stems).
Conjugation is also the traditional name of a group of verbs that share a similar conjugation pattern in a particular language (a verb class). This is the sense in which teachers say that Latin has four conjugations of verbs. This means that any regular Latin verb can be conjugated in any person, number, tense, mood, and voice by knowing which of the four conjugation groups it belongs to, and its principal parts.
B. VALENCY
In linguistics, verb valency or valence refers to the number of arguments controlled by a verbal predicate. It is related, though not identical, to verb transitivity, which counts only object arguments of the verbal predicate. Verb valency, on the other hand, includes all arguments, including thesubject of the verb.
The number of arguments that a verb takes is called its valency or valence. Verbs can be classified according to their valency:
1. Avalent (valency = 0)
the verb has neither a subject nor an object. Zero valency does not occur in English
an avalent verb takes no arguments, e.g. It rains. (Though it is technically the subject of the verb in English, it is only a dummy subject. No other subject can replace it.)
Avalency refers to the property of a verb of taking no arguments. Avalent verbs are verbs which have no valency, they have no logical arguments, such as subject, object or otherwise. A common example of such verbs in many languages are verbs describing weather.
It rains.
It snows.
It is freezing.
It is snowing.
The point of avalency is more demonstrative and pronounced such as Spanish, which do not grammatically require a dummy pronoun as English does. For instance, the Spanish equivalent of it’s raining is llueve.
Weather verbs are often impersonal (subjectless, or avalent) in null-subject languages like Spanish, where the verb llueve means “It rains”. In English, they require a dummy pronoun, and therefore formally have a valency of 1.
2. Intransitive
(valency = 1, monovalent): the verb only has a subject. For example: “he runs”, “it falls”.
In grammar, an intransitive verb is a verb that has no object. This differs from a transitive verb, which takes one or more objects. Both classes of verb are related to the concept of the transitivity of a verb.
Examples of intransitive verbs include to die and to sleep. Transitive verbs include to see and to give.
In languages that have a passive voice, a transitive verb in the active voice becomes intransitive in the passive voice. For example, consider the following sentence:
David hugged Mary.
In this sentence, “hugged” is a transitive verb taking “Mary” as its object. The sentence can be passivized with the direct object “Mary” as the grammatical subject as follows:
Mary was hugged.
This shift is called promotion of the object.
The passive-voice construction cannot take an object. The passivized sentence could be continued with the agent:
Mary was hugged by David.
It cannot be continued with a direct object to be taken by “was hugged.” For example, it would be ungrammatical to write “Mary was hugged her daughter” in order to show that Mary and her daughter shared a hug.
Intransitive verbs can be passivized in some languages. In English, intransitive verbs can be used in the passive voice when a prepositional phrase is included, as in, “The houses were lived in by millions of people.”
3. Transitive (valency = 2, divalent)
he verb has a subject and a direct object. For example: “she eats fish”, “we hunt nothing”.
In syntax, a transitive verb is a verb that requires both a direct subject and one or more objects. The term is used to contrast intransitive verbs, which do not have objects.
Some examples of sentences with transitive verbs:
You pushed the bag. (“bag” is the direct object of “pushed”)
I hate you. (“you” is the direct object of “hate”)
I gave you the doll. (“doll” is the direct object, and “you” is the non-prepositional indirect object of “give”)
John traded his apple and Jane’s orange with her. (“his apple and Jane’s orange” is the object of “traded”, but “with her” is not)
I ate the pie. (“pie” is an object of “ate”)
I tried on the shoes. (“shoes” is an object of “tried on”)
4. Ditransitive
(valency = 3, trivalent) the verb has a subject, a direct object, and an indirect object. For example: “He gives her a flower.”
In grammar, a ditransitive verb is a verb which takes a subject and two objects which refer to a recipient and a theme. According to certain linguistics considerations, these objects may be calleddirect and indirect, or primary and secondary. This is in contrast to monotransitive verbs, which take only one object, a direct object.
In languages which mark grammatical case, it is common to differentiate the objects of a ditransitive verb using, for example, the accusative case for the direct object, and the dative case for the indirect object (but this morphological alignment is not unique; see below). In languages without morphological case (such as English for the most part) the objects are distinguished by word order and/or context.
English has a number of generally ditransitive verbs, such as give, grant, and tell and many transitive verbs that can take an additional argument (commonly a beneficiary or target of the action), such as pass, read, bake, etc.:
He gave Mary ten dollars.
He passed Paul the ball.
Jean read him the books.
She is baking him a cake.
English grammar allows for these sentences to be written alternately with a preposition (to or for):
He gave ten dollars to Mary.
He passed the ball to Paul.
Jean read the books to/for him.
She is baking a cake for him., etc.
The latter form is grammatically correct in every case, but in some dialects the former (without a preposition) is considered ungrammatical, or at least unnatural-sounding, when both objects are pronouns (as in He gave me it).
Sometimes one of the forms is perceived as wrong for idiosyncratic reasons (idioms tend to be fixed in form) or the verb simply dictates one of the patterns and excludes the other:
*Give a break to me (grammatical, but always phrased Give me a break)
*He introduced Susan his brother (usually phrased He introduced his brother to Susan)
In certain dialects of English, many verbs not normally treated as ditransitive are allowed to take a second object that shows a beneficiary, generally of an action performed for oneself.
Again, this usage is idiomatic, learnt only with experience.
Passive voice of ditransitive
Many ditransitive verbs have a passive voice form which can take a direct object. Contrast the active and two forms of the passive:
Active:
Jean gave the books to him.
Jean gave him the books.
Passive:
The books were given to him by Jean.
He was given the books by Jean.
Not all languages have a passive voice, and some that do have one (e.g. Polish) don’t allow the indirect object of a ditransitive verb to be promoted to subject by passivization, as English does. In others like Dutch a passivation is possible but requires a different auxiliary: “krijgen” instead of “worden”.
E.g. schenken means “to donate, to give”:
Active: Jan schonk hem de boeken – John donated the books to him.
Passive: De boeken werden door Jan aan hem geschonken.
Pseudo-passive: Hij kreeg de boeken door Jan geschonken.

C. TENSES, ASPECT, AND MODALITY
A single-word verb contains information about time (past, present, future), person and number. The process of grammatically modifying a verb to express this information is called conjugation.
Tense–aspect–mood, commonly and also called tense–modality, is the grammatical system in a language that covers the expression of tense (location in time),aspect (fabric of time a single block of time, continuous flow of time, or repetitive occurrence), and mood or modality (degree of necessity, obligation, probability, ability). In some cases, evidentiality (whether evidence exists for the statement, and if so what kind) may also be included.
1. Tense
Depending on the language, verbs may express grammatical tense, aspect, or modality. Grammatical tense is the use of auxiliary verbs or inflections to convey whether the action or state is before, simultaneous with, or after some reference point. The reference point could be the time of utterance, in which case the verb expresses absolute tense, or it could be a past, present, or future time of reference previously established in the sentence, in which case the verb expresses relative tense.
A tense is a grammatical category that locates a situation in time, to indicate when the situation takes place. Some typical tenses are present, past, and future.
Tense can make finer distinctions than simple past-present-future; past tenses for example can cover general past, immediate past, or distant past, with the only difference between them being the distance on the timeline between the temporal reference points. Such distinctions are not precise: an event may be described in the remote past because it feels remote to the speaker, not because a set number of days have passed since it happened; it may also be remote because it is being contrasted with another, more recent, past event.
In absolute tense, as in English, tense indicates when the time of assertion, time of completion, or time of evaluation occurs relative to the utterance itself (time of utterance). In relative tense, on the other hand, tense is relative to some given event.
The number of tenses in a language may be disputed, because the term tense is often used to represent any combination of tense proper, aspect, and mood. In many texts the term “tense” may indicate qualities of uncertainty, frequency, completion, duration, possibility, or whether information derives from experience or hearsay (evidentiality).Tense differs from aspect, which encodes how a situation or action occurs in time rather than when. In many languages, there are grammatical forms which express several of these meanings (see tense–aspect–mood).
Tenses are broadly classified as present, past, or future. In absolute-tense systems, these indicate the temporal distance from the time of utterance. In relative-tense systems, they indicate temporal distance from a point of time established in the discourse. There are also absolute-relative tenses, which are two degrees removed from the temporal reference point, such as future-in-future (at some time in the future, event will still be in the future) and future-in-past (at some time in the past, event was in the future).
Some tenses:
Future tenses.
 Immediate future: right now
 Near future: soon
 Hodiernal future: later today
 Vespertine future: this evening[citation needed]
 Post-hodiernal: after today
 Crastinal: tomorrow
 Remote future, distant future
 Posterior tense (relative future tense)
 Nonfuture tense: refers to either the present or the past, but does not clearly specify which. Contrasts with future.
Present tense
 Still tense: indicates a situation held to be the case, at or immediately before the utterance
 Nonpast tense: refers to either the present or the future, but does not clearly specify which. Contrasts with past.
 Past tenses. Some languages have different past tenses to indicate how far into the past we are talking about.
 Immediate past: very recent past, just now
 Recent past: in the last few days/weeks/months (conception varies)
 Nonrecent past: contrasts with recent past
 Hodiernal past: earlier today
 Matutinal past: this morning[citation needed]
 Prehodiernal: before today
 Hesternal: yesterday or early, but not remote
 Prehesternal: before yesterday
 Remote past: more than a few days/weeks/months ago (conception varies)
 Nonremote past: contrasts with remote past
 Ancestral past, legendary past
 General past: the entire past conceived as a whole
 Anterior tense (relative past tense)
2. Aspect
In linguistics, the grammatical aspect of a verb is a grammatical category that defines the temporal flow (or lack thereof) in a given action, event, or state, from the point of view of the speaker. A basic distinction is with regard to whether the speaker looks at a situation as bounded and unitary, without reference to any flow of time during the situation (“I ate”), or with no reference to temporal bounds but with reference to the nature of the flow of time during the situation (“I was eating”, “I used to eat”). The unitary view without internal temporal flow is known as the perfective aspect, while the non-bounded view with reference to temporal flow is known as the imperfective aspect. Within the imperfective aspect, further common aspectual distinctions include whether the situation is repetitive or habitual (“I used to eat”), is continuous in a particular time frame (“I was eating”), or has continuing relevance in a later time frame (“I have eaten”). Any one language will have at most a subset of the aspectual distinctions attested in the world’s languages.
Aspect expresses how the action or state occurs through time. Important examples include:
a. perfective aspect
in which the action is viewed in its entirety though completion (as in “I saw the car”)
The perfective aspect, sometimes called the aoristic aspect, is a grammatical aspect used to describe a situation viewed as a simple whole, whether that situation occurs in the past, present, or future. The perfective aspect is equivalent to the aspectual component of past perfective forms variously called “aorist”, “preterite”, and “simple past”. Although the essence of the perfective is an event seen as a whole, a unit without internal structure.
The perfective aspect is distinguished from the imperfective aspect, which presents an event as having internal structure (such as ongoing or habitual actions), and from the prospective aspect, which describes impending action.
b. imperfective aspect,
in which the action is viewed as on going.
The imperfective is a grammatical aspect used to describe a situation viewed with internal structure, such as ongoing, habitual, repeated, whether that situation occurs in the past, present, or future. Although many languages have a general imperfective, others have distinct aspects for one or more of its various roles, such as progressive, habitual, and iterative aspects.
in some languages a verb could express imperfective aspect more narrowly as:
• habitual aspect,
in which the action occurs repeatedly (as in “I used to go there every day”)
• continuous aspect
in which the action occurs without pause.
continuous and progressive aspects are grammatical aspects that express incomplete action in progress at a specific time: they are non-habitual, imperfective aspects. It is a verb category with two principal meaning components: (limited) duration and (possible) incompletion. Most languages treat continuous and progressive aspects as alike and use the two terms interchangeably, but there are languages that distinguish them.
continuous aspect can be further subdivided into
– stative aspect,
in which the situation is a fixed (as in “I know French”),
A stative verb is one which asserts that one of its arguments has a particular property (possibly in relation to its other arguments). Statives differ from other aspectual classes of verbs in that they are static; that is, they have undefined duration. Verbs which are not stative are often called dynamic verbs.
Examples of sentences with stative verbs:
he has always loved it.
I am tired.
I have two children.
I like the color blue.
I think they want something to eat.
We hold these truths to be self-evident…
The case contains six bottles.
This would imply that we didn’t care.

The following are not stative:
You are being silly.
She is having a baby.
Quiet please, I am thinking.

– progressive aspect
in which the situation continuously evolves (as in “I am running”)
The continuous and progressive aspects are grammatical aspects that express incomplete action in progress at a specific time: they are non-habitual, imperfective aspects. It is a verb category with two principal meaning components: (limited) duration and (possible) incompletion. Most languages treat continuous and progressive aspects as alike and use the two terms interchangeably, but there are languages that distinguish them.
c. Perfect
which combines elements of both aspect and tense, and in which both a prior event and the state resulting from it are expressed (as in “I have studied well”)
In linguistics, the perfect occasionally called the retrospective to avoid confusion with the perfective aspect, is a combination of aspect and tense that calls a listener’s attention to the consequences, at some time of perspective (time of reference), generated by a prior situation, rather than just to the situation itself. The time of perspective itself is given by the tense of the helping verb, and usually the tense and the aspect are combined into a single tense-aspect form: the present perfect, the past perfect (also known as the pluperfect), or the future perfect.
The perfect is distinct from the perfective, which marks a situation as a single event, without internal structure. A sentence in the perfective aspect cannot be in the perfect and vice versa .
The perfect can refer to events in the past that have been finished (such as “He has already eaten dinner”) as well as events that are ongoing (such as “He had been working on this novel for a year” or “He has composed operas for twenty years”); all are characterized by continued relevance to the speaker at the time of perspective.
The perfect contrasts with the prospective, which encodes the present relevance or anticipation of a future event. While the perfect is a relatively uniform category cross-linguistically, its relation to the experiential and resultative aspects is complex — the latter two are not simply restricted cases of the perfect.
Aspect can either be lexical, in which case the aspect is embedded in the verb’s meaning (as in “the sun shines”, where “shines” is lexically stative); or it can be grammatically expressed, as in “I am running”.
3. Modality
Modality expresses the speaker’s attitude toward the action or state given by the verb, especially with regard to degree of necessity, obligation, or permission (“You must go”, “You should go”, “You may go”), determination or willingness (“I will do this no matter what”), degree of probability (“It must be raining by now”, “It may be raining”, “It might be raining”), or ability (“I can speak French”). All languages can express modality with adverbs, but some also use verbal forms as in the given examples. If the verbal expression of modality involves the use of an auxiliary verb, that auxiliary is called a modal verb. If the verbal expression of modality involves inflection, we have the special case of mood; moods include the indicative (as in “I am there”), the subjunctive (as in “I wish I were there”), and the imperative (“Be there!”).

D. VOICE
The voice of a verb expresses whether the subject of the verb is performing the action of the verb or whether the action is being performed on the subject. The two most common voices are the active voice (as in “I saw the car”) and the passive voice (as in “The car was seen by me” or simply “The car was seen”).

REFERENCES
http://en.wikipedia.org/wiki/Transitive_verb
http://languagearts.pppst.com/verbtenses.html
http://dictionary.reference.com/browse/verb
http://www.chompchomp.com/terms/verb.htm
http://grammar.about.com/od/tz/g/verbterm.htm

Don’t be sad my dear…

Written By. Amhar M.A 10 oktober 2011 For “Ain Mardhiyyah”

Jangan bersedih sesungguhnya kehidupan kita tidak akan pernah sepi dari berbagai bencana, kesedihan dan ujian… Mustahil bagi seseorang hidup di dunia sepi dari berbagai cobaan dan ujian… Dunia diciptakan dalam keadaan yang keruh namun kamu mengharapkannya… Suci dari berbagai kepedihan dan kekeruhan… Beban hari-hari bertentangan dengan tabiatnya…. Yang menginginkan percikan api dalam air… Jangan bersedih …. sesungguhnya kesabaran itu kunci kehidupan… Jangan bersedih sesungguhnya bersama kesusahan ada kemudahan… Jangan bersedih sesungguhnya ujian dan cobaan itu dapat menghapuskan dosa-dosa, meningkatkan drajat menjadi lebih mulia…. Jangan bersedih sesungguhnya Allah menyayangimu melebihi kasih sayang seorang ibu terhadap bayinya… Jangan bersedih, sesungguhnya kebahagiaan orang dzalim tidak akan abadi. Allah akan menolongmu untuk menghadapinya di dunia dan di akhirat… ini merupakan perkara yang tidak mustahil… Apa yang kamu dapatkan dari kesedihan kali ini? Bisakah kamu menghidupkan kembali mayatmu? Bisakah kamu mengembalikan kebahagiaan yang terampas/ Janganlah bersedih karena kesedihan seperti badai topan yang merusak cuaca, menumpahkan air, menumpahkan langit dan mematahkan bunga mekar di kebun yang menawan. Janganlah bersedih karena musibah itu tidak akan abadi… Jangan bersedih karena kesedihan akan membuatmu gelisah.. dan memikirkan masa lalu, membuatmu takut terhadap masa depan… serta menghilangkan harimu??? Janganlah bersedih karena perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama…. Tidak perlu kita melihat panjangnya jalan, Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kadar kemampuannya… Jika kelonggaran tak kunjung datang, pasti kita akan meninggalkan kesedihan…. Janganlah bersedih karena waktu kita hanya sehari…. Wahai orang yang diuji anda tidak sendirian…. Betapa banyak orang yang diuji di alam ini, Manusia yang paling keras ujiannya adalah para nabi, kemudian orang yang semisal mereka… seorang diuji berdasarkan kadar agamanya, jika agamanya kokoh, keraslah ujiannya… Kadang-kadang kamu bisa mengambil manfaat dari musuhmu… maka jangan bersedih… Begitulah ketika Allah menghalangimu dari sesuatu di dunia, niscaya dia akan menggantinya di surga yang dijanjikan untuk hamba-hambanya yang shalih. Janganlah anda merasa sengsara karena hilangnya serpihan dunia… Tegarlah seperti gunung Uhud…. Pecinta dunia tidak akan lepas dari tiga hal: Kegalauan yang pasti, kelelahan yang abadi, dan penyesalan yang tidak berhenti. Hal itu terjadi karena ketika dia mendapatkan sesuatu, dia ingin mendapatkan lebih banyak lagi…. Jangan bersedih dan jangan berkeluh kesah karena kepedihan. Barangkali hal itu akan mendorongmu untuk berkorban dan memberi serta menjadi titik tolak bagimu untuk sukses, unggul, dan berhasil. Ridhalah dengan pemberian allah bagimu niscaya kamu akan menjadi manusia paling kaya… Janganlah menyembelih dirimu dengan pisau kecemasan dan ketakutan, janganlah membunuh harimu dengan kesedihan yang mencekam…  Ada jiwa yang mampu membuat segala sesuatu menjadi kesengsaraan. Ada pula jiwa yang mampu menjadikan segala sesuatu menjadi kebahagiaan. Bagi yang pertama adalah percikan api. And then I find the answer… STRIVE FOR EXCELLENT MY DEAR….

(Amhar+Aya)

NETWORKING. All About Gontorian. (Swat Relationship)

 Written by: Amhar Maulana Arifin

Administration Office: February,12 2010

The basics, get you in the game, Then the working takes over.

(Beckwith, Penulis buku What Clients Love)

Pondok modern Darussalam Gontor mengajarkan kurikulum kepemimpinan dalam totalitas pendidikannya. Sehingga dapat tercipta seorang pemimpin yang administrator dan haraki dalam memperjuangkan umat. Pemimpin administrator adalah mereka yang mampu mengatur seluruh komponen yang diatur dan menjadi tanggung jawabnya, juga dapat mensistematikakan segala perihal administrasi organisasi atau perusahaan yang menjadi tuntutan besar dalam memperjuangkannya. Sedangkan pemimpin haraki adalah mereka yang mampu menggerakkan, membawa, bergerak aktif, harus di depan, menjadi motivator. Merupakan dua prinsip kepemimpinan yang harus dimiliki oleh santri gontor, sehingga tercipta seorang pemimpin yang mampu berkompetisi dan kompeten dalam memperjuangkan umat.

Seperti yang dikatakan oleh KH Abdullah Sukri Zarkasyi.: “Alumni Gontor tidak hanya diciptakan hanya menjadi pemimpin yang administrator, tapi yang haraki yang bisa menggerakan orang”.

Networking sangatkah dibutuhkan dan merupakan salah satu main factor dalam seni kepemimpinan dan administrasi. Karakter dari seorang leader handal adalah memiliki kemampuan untuk menggerakkan dan membuat jaringan kerja yang baik, sehingga dapat tergerakkan seluruh lapisan anggota dan perusahaan atau organisasi. Selain itu, teamwork pun sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan ideal sebuah organisasi atau perusahaan.

Para ahli sepakat bahwa networking yang efektif memerlukan tujuan dan dan penentuan yang objektif. Dengan melibatkan diri pada organisasi-organisasi atau inidividu-individu yang menjadi kontak terbaik kita. Dalam membuat networking itu dibutuhkan komitment waktu, energi, dan sumber daya lain. Agar hasilnya dapat signifikan. Gunakan energi, kemampuan, kapabilitas dan segala potensi yang dimiliki untuk membuat jaringan kerja itu. Banyak sekali cara yang dapat dilakukan untuk membuat jaringan kerja, seperti mengingat nama mereka, mentraktir ke kafe, makan bersama di dapur, puji prestasinya, atau sekedar mengajak tahaduts bersama sambil memasukkan main goal anda yang menjadi menu pembicaraan.

Pesan utama yang dapat disampaikan kepada partner atau calon partner bukanlah seberapa hebat anda sebagai seorang konsultan atau seberapa luar biasanya Anda sebagai pembicara. Namun kepada pembuktian bagaimana anda mengenal mereka dengan baik. Tahu apa yang mereka inginkan dan memahami apa yang mereka butuhkan. Hubungan semacam ini kelihatannya hanya menghabiskan waktu saja, namun hubungan seperti ini cenderung lebih langgeng dan dawam dan akan memberikan manfaat yang lebih besar dalam jangka panjang.

Tapi kelemahan utama dalam kegiatan networking ini adalah menghabiskan waktu, It waste your time! Kadang waktu untuk mengembangkan diri seperti membaca buku pelajaran, menghafal Al-quran, meningkatkan bahasa, membaca literatur-literatur klasik sering terabaikan. Seringkali untuk membangun jaringan kerja butuh waktu lama dan kesabaran tingkat tinggi. Apalagi bagi mereka yang introvert dan memiliki interest tinggi dalam hal-hal yang membutuhkan waktu untuk menyendiri. Seperti seseorang yang memiliki kepribadian untuk mengamati, sehingga menyibukkan diri untuk hal-hal yang berbau ilmiah dan membutuhkan intelegensi.

Biaya yang harus dikorbankanpun menjadi salah satu penghambat networking, disini dibutuhkan mentor yang handal yang berpengalaman dalam membangun network. Jika anda mampu menyusun rencana yang rinci dan administrasi yang valid dan tujuan yang terdefinisi dengan jelas. Maka anda bisa mengatur dana yang dikeluarkan, tenaga yang dikerahkan untuk membangun semuanya, membuat pembukuan keuangan pribadi dan target-target aktifitas menjadikan semuanya terperinci dan rapi sehingga pencapaian target pun dapat terasakan. Sisanya adalah kerja keras untuk membuktikan bahwa opportunity yang anda bangun dari networking adalah jauh lebih besar manfaatnya dari biaya yang harus dikeluarkan.

Perlu kita ketahui, dalam kehidupan bermasyarakat nanti, networking besar sekali manfaatnya dan menjadi kebutuhan mendasar dalam segala aktivitas bisnis, politik, management, dll sebagai perangkat untujk aktivitas organisasi, networking membutuhkan pemeliharaan kontak yang terus menerus, menghindari kesenjangan, serta komitmen waktu dan energi sehingga tidak sia-sia. Sebagai contoh misalnya dalam sistem pengairan kamar mandi di pondok modern Darussalam gontor, dibutuhkan pembangunan pipa dan kamar mandi yang baik serta saluran air yang lancar. Selain itu air membutuhkan diesel dan listrik agar dapat dialirkan dan mengisi seluruh bak air. Dan pada akhirnya dibutuhkan dana yang cukup untuk membiayai seluruh pekerjaan dan pengeluaran pekerjaan tersebut. Maka dibutuhkan networking dan tamwork yang baik antar lembaga yang mengurus seluruh elemen pondok itu. Sehingga dapat terwujud ketaatan, solidaritas, loyalitas, etos kerja dan keikhlasan.

Zona Kenyamanan. Stretch yourself Beyond Your Comfort Zone!

Lingkaran Comfort Zone

Keluar dari Zona Kenyamanan

Idealisme merupakan suatu pola fikir yang mencerminkan kekuatan untuk mempertahankan ide dan pemikiran seseorang sesuai dengan kebenaran yang menjadi pegangan untuk suatu keabsahan hidup. Setiap individu atau kelompok harus memiliki idealisme sehingga dapan mencapai segala tujuan sesuai dengan pola kehidupan ideal mereka.

Sebagai contoh apabila seorang santri melihat kehidupan sehari-harinya, ritmenya barang kali seperti ini: bangun tidur setengah empat pagi, shalat shubuh, membaca al-qur’an, menghafal pelajaran dan berbagai aktivitas pagi yang begitu padat, setelah itu pergi ke kelas secepat mungkin menghindari keterlambatan, belajar, pulang dari sekolah, istirahat siang, lalu pergi shalat ashar, dan berbagai aktivitas lainnya sampai waktu tidur tiba. Terdengar suara lonceng sepuluh ketukan menunjukkan pukul 10 malam.

Karena dia adalah seorang pelajar yang sangat rajin, dia menambah waktu belajar hingga pukul 11 malam. Dan kadang pula terpakasa harus mengerjakan beberapa hal yang tidak seharusnya dilakukan lepas malam seperti mengerjakan tugas sekolah dll.

Pagi berikutnya ustadz pengasuhan santri atau para musyrif membangunkannya seperti biasa. Ia pun melakukan kegiatan yang sama, mencuci, menyantap sarapan dengan cepat, berlari ke kelas, lalu melakukan rutinitas yang padat hingga malam hari.

Roda kehidupannya sehari-hari berputar dalam ritme seperti itu. dapat dibayangkan seekor hamster, hewan kecil pengerat, yang menghabiskan waktunya berputar mengikuti roda di kandangnya. Andai seseorang menjadi hamster itu, dengan beraktivitas sepanjang hari, bagaikan telah meminyaki poros roda seperti itu agar berputar lebih kencang. Yang tidak disadari, ia tetap dalam roda itu, berputar pada porosnya dan tidak beranjak kedepan.

Sehari-hari seseorang dapat merasakan telah melakukan berbagai hal, seperti mengikuti perkumpulan wajib, latihan olah raga, tauqi lima waktu shalat, perkumpulan “karet”, namun tidak dapat terlihat sesuatu yang mendongkrak karier. Terjebak dalam rutinitas yang menguras tenaga, fikiran, dan waktu tanpa bisa betul-betul melangkah ke depan.

Efek roda hamster bukan hanya mempengaruhi fisik, tetapi juga melemahkan potensi-potensi kreatif. Capaian kreatif apa yang dapat diraih apabila seseorang disibukkan dalam ritme senada? Alih-alih memperlihatkan capaian kreatif, yang dapat diraih hanyalah kinerja standar untuk mempertahankan diri ditengah tumpukan aktivitas dan rutinitas.

Akankah didapatkan kepuasan dengan terus memutar roda hamster? Menikmati penderitaan yang mungkin tidak akan segera berakhir? “digerakkan” oleh waktu? Ada beberapa hal yang harus dilakukan seseorang untuk memperoleh hasil maksimal dalam kehidupannya dan menghilangkan belenggu aktivitas yang menghambat perkembangan.

1.      berani mengubah diri

Sebagian orang dapat berubah setelah mengalami penderitaan yang panjang, menunggu benar-benar letih baru berubah. Berubah karena terpaksa. Yang terbaik, tentu saja, anda berubah karena kita menginginkannya. Merubah diri merupakan langkah awal untuk mencapai peningkatan diri sehingga lebih baik dari sebelumnya. Mengikuti suramnya hari dalam kehidupan bukanlah hal yang layak dimiliki seorang santri, menciptakan antusiasme dalam hidup, karena antusiasme itu tidak datang dengan sendirinya, tapi harus dicari dan diciptakan.

2. Keluar dari zona kenyamanan

Banyak sekali orang yang senang menetap di zona kenyamanan, ketika mendapatkan fasilitas yang baik, sekalipun zona itu secara haqiqi menyiksanya. Ia tidak merasa menderita, sebaliknya ia menikmati zona itu, berbeda dengan halnya jika dia merasa bahwa cara dia beraktivitas dan hidup selama ini bukannya baik untuk masa depan, tetapi malah menggerogoti kualitas kehidupannya. Seperti dikatakan oleh Sholihin Abu Izuddin dalam zero to hero, bahwa kita harus menjadi seorang Climber (pendaki) yang terus mendaki sampai akhir, daripada seorang camper (tukang camping), mendaki lalu istirahat, dan seterusnya. Jika anda memutuskan untuk mengadopsi gaya hidup lebih baik, maka babak baru akan anda tempuh sebelum lompat dari lubang hamster.

Keberanian mengubah hidup, begitulah kunci yang seringkali disampaikan oleh mereka yang berpengalaman melompat dari roda hamster. Melompat dari roda yang terus berputar tak ubahnya bagaikan merebut kembali kesempatan kedua untuk meraih segala hal yang kita impikan.

2. Berfikir di luar konsep yang ada.

Think out of the box! Berfikir diluar konsep yang ada, mencari sudut pandang lain dalam menilai sesuatu. Setiap keputusan yang dipilih adalah sebuah kebenaran jika mau mempertimbangkannya dalam-dalam,  bukan hanya membabi buta mengikuti suatu kultur dan nilai tanpa mengetahui kegunaan dan manfaat yang jelas dari kultur dan kebiasaan tersebut. Sehingga muncullah inovasi-inovasi baru dalam hidup.

3. Memilih yang paling penting dari yang penting.

Pada dasarnya segala kegiatan yang ada di pondok modern Darussalam Gontor merupakan hal yang bermanfaat dan memiliki hidden curriculum di dalamnya. Benturan aktivitas merupakan hal yang rumit untuk dihadapi, saatnya untuk berfikir logis dalam mengambil hal yang terpenting.

4. Berfikir inovatif dan kreatif.

Berusaha mencari gagasan baru dalam hidup, memberikan pencerminan diri yang baik bagi diri sendiri, membangun ide-ide baru untuk mengembangkan diri, sehingga dapat dicapai hasil yang kompeten untuk berjuang dimasyarakat.

5. Berinisiatif dalam bertindak.

Seseorang yang benar-benar berbuat adalah seseorang yang memiliki inisiatif, berbuat lebih sehingga menhasilkan hasil yang lebih.

mengerahkan kemampuan puncak adalah pilihan terbaik untuk memperoleh hasil yang memuaskan.

semoga sukses!